Sebagian kalangan beranggapan bahwa kedua modal yang dimilikinya itu
sudah cukup sehingga ia tidak perlu berhubungan dengan orang lain dan
menimba ilmu dari orang lain. Sebagian lagi selalu ingin membandingkan
dan membenturkan pandangannya dengan pandangan orang lain. Sudah
pasti, kelompok kedualah yang akan menemukan kebenaran. Bukankah Imam
Ali as pernah bersabda: “Benturkan sebagian pandangan yang kalian
miliki dengan pandangan yang lain; maka akan muncul kebenaran”. Maksud
dari hadis ini adalah bahwa perkembangan sebuah ilmu dapat diperoleh
melalui tanya-jawab, kritik, sanggahan dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, orang yang memperoleh ilmu melalui penelitian dan menganalisa
sebuah pandangan akan memiliki nilai tambah dari sisi keilmuannya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa manusia ibarat tambang emas dan
perak. Di dalam hadis lain, Rasulullah saww mensifati ilmu sebagai
mata air yang jika seorang penuntut ilmu bersandar kepada Allah maka
kebaikan dan berkah Allah akan mengalir baginya. Dari dua hadis ini
dapat disimpulkan bahwa sebagai mahluk, manusia tidak diciptakan tanpa
modal dan background apapun. Ilmu yang didapatkan manusia dari lembaga
pendidikan formal atau non formal, hauzah maupun universitas merupakan
modal dan simpanan bagi diri manusia. Di dalam diri manusia tersimpan
rahasia yang dapat diungkapkan. Dalam surat an-Nahl/78, Allah swt
berfirman: “Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu sedangkan
kalian tidak mengetahui apa-apa”.
Pengertian ilmu yang disinggung dalam ayat ini adalah ilmu hushuli
yang didapatkan dari buku atau guru. Ketika segala sesuatu (termasuk
ilmu) disandarkan kepada Allah maka ia tidak akan pernah kosong dalam
diri manusia. Hal ini disinggung dalam ayat 29 Surah Hijr, ketika Allah
berfirman: “Dan Aku tiupkan ruh-Ku kepadanya”. Ayat ini tidak berbicara
tentang nabi Adam saja sebagai makluk pertama Allah yang diciptakan di
muka bumi, akan tetapi ayat ini berbicara tentang seluruh umat
manusia sepanjang masa. Kata ruh dalam ayat tersebut kembali kepada
Allah swt, ketika Dia meniupkan ruh-Nya kepada manusia maka manusia
dengan ruh yang ditiupkan tersebut akan mampu menyandang kesempurnaan
yang dimiliki-Nya. Dan salah satu bentuk kesempurnaan yang dimiliki-Nya
adalah ilmu dan pengetahuan. Hadis di atas ingin menjelaskan bahwa sejak
awal penciptaannya, manusia sudah disiapkan dan dibekali sesuai dengan
kapasitasnya; bagaikan wadah yang siap menampung air. Ketika manusia
selalu mencari nilai-nilai kesempurnaan (ilmu) maka peluang wadah untuk
mendapatkan anugrah Ilahi akan semakin besar; anugrah yang dapat
dinikmati dan dimanfaatkan bagi dirinya dan orang lain. Namun, jika
modal pemberian Allah tersebut hilang disebabkan kebodohan teoritis
atau kebodohan praktisnya maka wadah tersebut lambat laun akan
mengecil dan bahkan akan sirna.
Dalam salah satu ucapan penuh makna, Imam Ali as bersabda:
“Sesungguhnya hati adalah wadah dan sebaik-baik wadah adalah yang diisi
dan dipenuhinya”. Sebaik-baiknya hati adalah hati yang selalu ditanami
nilai-nilai kesempurnaan dan salah satu bentuk dari kesempurnaan
tersebut adalah ilmu. Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia telah
diciptakan dengan dua modal: hatiyang selalu aktif dan potensi yang jika
keduanya dikembangkan untuk mencari nilai-nilai ilmu, maka manusia akan
menjadi mishdak dari hadis di atas. Sedangkan seseorang yang tidak
menggunakan dan mengembangkan keduanya, lalu apa yang bisa diharapkan
darinya?
Sebagian kalangan beranggapan bahwa kedua modal yang dimilikinya itu
sudah cukup sehingga ia tidak perlu berhubungan dengan orang lain dan
menimba ilmu dari orang lain. Sebagian lagi selalu ingin membandingkan
dan membenturkan pandangannya dengan pandangan orang lain. Sudah
pasti, kelompok kedualah yang akan menemukan kebenaran. Bukankah Imam
Ali as pernah bersabda: “Benturkan sebagian pandangan yang kalian
miliki dengan pandangan yang lain; maka akan muncul kebenaran”. Maksud
dari hadis ini adalah bahwa perkembangan sebuah ilmu dapat diperoleh
melalui tanya-jawab, kritik, sanggahan dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, orang yang memperoleh ilmu melalui penelitian dan menganalisa
sebuah pandangan akan memiliki nilai tambah dari sisi keilmuannya.
Lebih jauh lagi, jika sebuah masyarakat mampu bersama-sama melakukan
tugas yang ditetapkan oleh para nabi maka masyarakat tersebut akan
menciptakan sebuah revolusi budaya spektakuler. Bukankah salah satu misi
para nabi sebagai utusan Allah adalah menciptakan revolusi budaya umat
manusia. Dan revolusi ini akan terwujud ketika hati manusia bangkit dan
tergerak, kembali dan kepada fitrah penciptaannya. Imam Ali as
bersabda: “Dan peranan mereka—para nabi—adalah mengerakkan hati-hati
manusia”. Revolusi budaya yang merupakan salah satu tujuan diutusnya
para nabi akan selalu menjadi tugas besar bagi umat manusia yang ingin
menuju pada kesempurnaan.
Lalu bagaimana proses menuju pada kesempurnaan tersebut? Al-Quran
memrintahkan; lakukanlah sesuatu yang bisa kamu lakukan! Janganlah
berbuat makar/tipu daya. Dalam surat Anfal/29, Allah berfirman: “Jika
kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqaan”
(petunjuk yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk). Jika saja
manusia menjadi ahli taqwa dan furqaan maka Allah akan memberikan
kepadanya kemampuan dan kekuataan. Tapi mengapa begitu banyak manusia
yang larut dalam kebinggungan serta sulit untuk membedakan antara yang
hak dan yang batil? Mengapa dari sekian aliran yang beragam manusia
tidak mampu mengenali kebenaran?
Untuk mengatasi masalah di atas, ada dua jalan yang dapat ditempuh
yaitu makrifatullsh atau jalan fitrah yang tertanam dalam hati manusia.
Ketika seseorang telah mengetahui mana jalan yang benar lalu ia
mengikuti jalan tersebut dan itulah hasil akhir dari penelitiannya, maka
Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan perbuatannya: “Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada
hatinya.” (At-Thaghabun/11)
Batas antara kebenaran dan kebatilan adalah hal pertama yang harus
dikenali dan diketahui. Manusia sering kali terjebak dan terperosok
dalam menentukan kebenaran dan kebatilan dan menganggap bahwa kebenaran
dan kebatilan harus selalu dilihat dari figur seseorang, kuantitas dan
lain sebagainya. Sebagai contoh, dalam perang Jamal dikisahkan bahwa
Haris bin Haut bertanya kepada Amirul mukminin Ali as: “Apakah mereka
yang memerangi kita berada dalam kebatilan sedang kita berada dalam
kebenaran?”. Imam menjawab: “Sungguh kamu hanya melihat kecbawah dan
tidak melihat ke atas sehingga kamu kebinggungan!” Imam ingin
mengajarkan kepada sahabatnya bahwa dengan melihat standar dan tolak
ukur kebenaran dan kebatilan baru kita dapat mengetahui siapa yang
berada dalam garis kebenaran dan siapa yang berada dalam garis
kebatilan.
Tugas penting kita adalah memahami sebuah kebenaran dan lebih baik
lagi jika kita selalu seiring dan sejalan dengan kebenaran dan dapat
menjadi ahli daohir dan ahli batin. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat
Ruum/7, al-Quran menyinggung: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai akan (kehidupan) akherat.”
Ayat ini memberikan indikasi bahwa akherat adalah batinnya dunia dalam
artian bahwa dzahir dunia yang kita lihat dan kita rasakan ternyata
memiliki batin, namun kita melalaikannya sehingga kita tidak dapat
merasakan keberadaannya.
Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, di perlukan sarana, salah
satunya adalah dengan menuntut ilmu yang dibarengi dengan keikhlasan
dalam ucapan maupun amal. Bukankah ilmu ibarat cahaya dalam kegelapan
yang menerangi jiwa?. Dengan demikian apakah cahaya yang kita dapati itu
dengan mudah kita buang dan jual dengan harga yang rendag?. Dengan
menuntut ilmu akan kita dapati hal-hal yang kita tidak dimiliki
sebelumnya dan dengan itu maka dan kedzoliman akan sirna bagaikan buih
yang terhempas ombak air. Allah swt berfirman: “Adapun buih itu, akan
hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. [Ar-Raad/17]
Mudah-mudahan kita mampu mengoptimalkan segala potensi yang kita
miliki dengan mencari kesempurnaan ilmu dan mengamalkannya sehingga kita
sampai kepuncak kebenaran dan dapat mewujudkan misi yang dibawa oleh
para nabi dan menjadi pelanjut mereka di muka bumi.[]
Wallahu a’lam
sumber: Abdurahman Arfan
Dikutip dari : www.islamalternatif.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar